·
Pengertian Peserta
Didik
Anak didik merupakan
salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa anak didik, proses
kependidikan tidak akan terlaksana. Oleh karena itu pengertian tentang anak
didik dirasa perlu diketahui dan dipahami secara mendalam oleh seluruh pihak.
Sehingga dalam proses pendidikannya nanti tidak akan terjadi kemelencengan yang
terlalu jauh dengan tujuan pendidikan yang direncanakan.
Dalam paradigma
pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Paradigma di atas menjelaskan bahwasanya manusia / anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
Paradigma di atas menjelaskan bahwasanya manusia / anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
Menurut Samsul Nizar
(2002) beberapa hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan
Islam, yaitu :
- Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
- Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
- Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
- Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
- Peserta didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
- Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Pandangan
Ibnu Khaldun Terhadap Anak Didik
Kita sepakat bahwa untuk
dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan
terlebih dahulu. Oleh karena itu maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh
tingkat kualitas pendidikan di dalamnya. Semakin bagus mutu / kualitas
pendidikan suatu negara maka semakin maju peradaban yang dibangunnya.
Anak didik sebagai salah
satu komponen pendidikan di dalamnya merupakan salah satu faktor terpenting
dalam terlaksananya proses pendidikan. Selain sebagai objek manusia juga
sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kedudukannya dalam proses
kependidikan menempati posisi urgen sebagai syarat terjadinya proses
pendidikan.
Berangkat dari urgensitas pendidikan dalam membangun sebuah peradaban, maka banyak para kaum intelektual yang mencoba mengkajinya lebih dalam sampai keakar permasalahannya.
Ibn Khaldun, seseorang yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, dan juga antropolog, mencoba mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai anak didik, yang dalam hal ini anak didik menduduki objek sekaligus subjek dalam pendidikan.
Berangkat dari urgensitas pendidikan dalam membangun sebuah peradaban, maka banyak para kaum intelektual yang mencoba mengkajinya lebih dalam sampai keakar permasalahannya.
Ibn Khaldun, seseorang yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, dan juga antropolog, mencoba mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai anak didik, yang dalam hal ini anak didik menduduki objek sekaligus subjek dalam pendidikan.
Menurut Husayn Ahmad
Amin (1995), dengan latar belakang seorang sosiolog, maka dalam bebagai
kajiannya Ibn Khaldun bersandar sepenuhnya kepada pengamatan terhadap fenomena sosial
dalam berbagai bangsa yang di dalamnya dia hidup.
Begitu pula dalam pemikirannya mengenai anak didik, ia mengaitkannya dengan aspek sosial yaitu hubungan anak didik dengan lingkungan dan masyarakat disekitarnya.
Lebih lanjut diterangkan, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Begitu pula dalam pemikirannya mengenai anak didik, ia mengaitkannya dengan aspek sosial yaitu hubungan anak didik dengan lingkungan dan masyarakat disekitarnya.
Lebih lanjut diterangkan, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Menurutnya, keberadaan
masyarakat sangat penting untuk kehidupan manusia, karena sesungguhnya manusia
memiliki watak bermasyarakat. Ini merupakan wujud implementasi dari kedudukan
manusia sebagai makhluk sosial, yang secara harfiahnya selalu membutuhkan orang
lain dalam hidupnya. Salah satu contoh yaitu dengan adanya oganisasi
kemasyarakatan.
Melalui organisasi kemasyarakatan tersebut manusia juga dapat belajar bagaimana seharusnya menjadi orang yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian maka secara tidak langsung manusia lambat laun akan menemukan watak serta kepribadiannya sendiri.
Manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat.
Melalui organisasi kemasyarakatan tersebut manusia juga dapat belajar bagaimana seharusnya menjadi orang yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian maka secara tidak langsung manusia lambat laun akan menemukan watak serta kepribadiannya sendiri.
Manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat.
Karena itu, lingkungan
sosial merupakan pemegang tanggungjawab dan sekaligus memberikan corak perilaku
seorang manusia. Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan menempati posisi
sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan. Pendidikan
sebagai suatu upaya dalam membentuk manusia ideal, mencoba mengajarkan dan
mengajak manusia untuk berpikir mengenai segala sesuatu yang ada di muka bumi,
sehingga hasrat ingin tahunya dapat terpenuhi.
Ibn Khaldun memandang
manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya. Manusia,
kata Ibn Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan
ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Dan hal itu sebagai bukti bahwa manusia
memang memiliki tingkatan berpikir yang lebih tinggi dibanding dengan makhluk
lainnya.
Disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, manusia juga memiliki sikap sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling menolong.
Disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, manusia juga memiliki sikap sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling menolong.
Dari keadaan manusia
yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ilmu yang
demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya.
Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar tercapai proses pencapaian ilmu
yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan. Pada bagian
lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu
pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat.
Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak
hanya membuuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam
satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
Dalam Al Qur`an sendiri
manusia terdiri dari materi (jasad) dan immateri (ruh, jiwa, akal, qalb). Jika
dihubungkan dengan pendidikan, maka manusia yang diberi pendidikan itu adalah
jiwa dan akalnya. Pendidikan pada manusia adalah suatu proses pengembangan
potensi jiwa dan akal yang tumbuh secara wajar dan seimbang, dalam masyarakat
yang berkebudayaan.
·
Kedudukan Peserta
Didik
A. Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta
didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang
dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
2. Peserta didik adalah manusia yang memiliki
diferensiasi priodesasi(perbedaan dalam tahap-tahap) perkembangan dan
pertumbuhan.
3. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan
jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4. Peserta
didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
5. Peserta
didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
B. Menurut
Raka Joni menyatakan bahwa hakikat peserta didik didasarkan pada 4 hal yaitu:
1. Peserta
didik bertanggung jawab terhadap pendidikan sesuai dengan wawasan pendidikan
seumur hidup.
2. Memiliki
potensi baik fisik maupun psikologi yang berbeda-beda sehingga masing-masing
subjek didik merupakan insan yang unik.
3. Memerlukan
pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
4. Pada
dasarnya merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungan.
·
Sifat dan
Akhlak Peserta Didik
Belakangan
ini pendidikan karakter sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dalam program
pendidikan nasional. Pembangunan karakter (character building) melalui
pendidikan karakter (character education) dipercaya sebagai keniscayaan
apabila Indonesia ingin bermetamorfosa menjadi bangsa mampu berkompetisi dengan
bangsa lain di dunia.
Mulai
terdengar sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter semakin nyaring
sekarang ini. Adalah seorang Thomas Lickona yang dianggap sebagai pengusungnya
melalui karyanya, The Retrun of Character
Education. Buku ini membawa perubahan di dunia Barat bahwa pendidikan
karakter adalah sebuah keharusan. Dari sinilah awal kebangkitan pendidikan
karakter.
Karakter
sebagaimana didefinisikan Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter,
kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik.
Maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk
membimbing perilaku manusia menuju standar-standar tertentu atau aturan-aturan
yang disepakati. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan
nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter
adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan
kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Lebih
jauh dari itu, karakter bangsa dipercaya akan sangat menentukan
kalanggengannya. Apabila sebuah bangsa mengalami kejatuhan karakter, sangat
boleh jadi bangsa tersebut akan kehilangan segala-galanya. Jepang boleh saja
luluh lantak ketika bom artom dijatuhkan sekutu pada Perang Dunia Ke-2. Namun,
karakter bangsa Jepang yang kuat, dengan memegang teguh nilai-nilai budaya
bangsa dan tetap mempertahankan etos kepahlawanannya, telah mengantar Jepang
tampil sebagai bangsa yang besar dan maju.
Karakter
diyakini sebagai kunci penting bagi tampilnya Jepang sebagai bangsa besar.
Bahkan ketika bencana gempa dan tsunami dahsyat memorakporanda negeri itu,
bangsa Jepang tetap tegar menerima tragedi yang memilukan itu. Karakter seperti
itu menjadi barang sangat mahal di negeri kita. Indonesia kini justru sedang
menghadapi darurat karakter. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih saja
merajalela, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras dan
perangkat undang-undang antikorupsi sudah dibuat.
Meningkatnya
intensitas tawuran antarwarga, antarpelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga
hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres
dalam karakter bangsa. Keburukan merajalela, sedang kebenaran sulit untuk
mendapatkan tempatnya.
Di
tengah masyarakat juga terjadi keengganan membeli hasil karya anak bangsanya
sendiri, padahal banyak orang di negeri ini hidup dalam kemiskinan absolut.
Sungguh ironis, 80% pasar tekstil dikuasai asing, 80% pasar farmasi dan 92% industri
hampir seluruhnya dikuasai asing. Mainan anak-anak pun didominasi oleh asing.
Meski
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, Indonesia tetap tak
mampu lebih maju dari Jepang yang pernah luluh lantak. Kejatuhan karakter jauh
lebih parah dibandingkan kejatuhan ekonomi, kejatuhan karakter bukan hanya
berdampak pada kehidupan ekonomi bangsa, tetapi mengancam kelangsungan bangsa
tersebut. Oleh karenanya, berbagai fenomena di negeri ini kemudian
mengarahkannya pada terbentuknya suatu program pendidikan karakter bagi
generasi muda bangsa.
Moralitas
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Berbeda
dengan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan
masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif
dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun
demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam
menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam
kehidupan manusia.
Oleh
karenanya para ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih
tinggi daripada pendidikan moral. Karena dalam pendidikan karakter, di sana
tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) baik sehingga siswa didik
menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Kalau moral adalah
pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah
tabiat seseorang yang langsung bersumber dari otaknya.
Dari
sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter
datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral
selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini
adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education).
Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Akhlak
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
Maka
apabila para peserta didik terus menerus diberi asupan pendidikan karakter
secara konsisten, tentunya akan menghasilkan peserta-peserta didik yang
berkarakter. Hanya saja, pada akhirnya, karakter ini tidak sama dengan akhlak.
Orang yang berkarakter bukan berarti orang yang berakhlak.
Pendidikan
akhlak sebagaimana dirumuskan Ibn Miskawaih, merupakan upaya ke arah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan
yang bernilai baik dari seseorang. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak
termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Ia
menawarkan konsep akhlak yang berdasar pada doktrin jalan tengah(The Golden Mean)
antara lain dengan keseimbangan antara dua ekstrim. Ia membagi jiwa manusia
dalam tiga bagian yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah),
jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Posisi
tengah al-bahimmiyah adalah al-iffah yaitu
menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya
posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan
dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah
keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan induk
akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih
sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak
tersebut.
Dapat kita lihat dari pembahasan
di atas, bahwa setiap peserta didik harus memiliki sifat dan akhlak yang baik,
guna menjadikan peserta didik yang baik, etika, moral, berakhlak mulia. Bahwa
sesungguhnya barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil.
Di jelaskan pula bahwa peserta
didik itu mendapatkan ilmu dari guru. Sesungguhnya ilmu dating dari Allah,
sehingga butuh etika mendekatkan diri dengan Allah. Peserta didik pun harus
mempersiapkan kesehatan fisik, akal dan dirinya, sehingga perlu memperhatikan
etika terhadap dirinya sendiri. Dan tidak lupa membersihkan hatinya. Belajar
hakikatnya sama dengan ibadah, yang hanya sah jika dibarengi dengan hati yang
bersih.
https://www.facebook.com/AqilaTambun?bookmark_t=page
https://www.facebook.com/pages/Pondok-Yatim-Daarussalam/146836378807157?ref=hl
https://www.facebook.com/PrismaDaarussalam?ref=hl
Posting Komentar
Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..