Selamat datang di Blog Pribadi Untuk Sosial Dan Semua

Konsep Filoshofi Peserta Didik

5 Juli 20130 komentar



·      


   Pengertian  Peserta  Didik
Anak didik merupakan salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa anak didik, proses kependidikan tidak akan terlaksana. Oleh karena itu pengertian tentang anak didik dirasa perlu diketahui dan dipahami secara mendalam oleh seluruh pihak. Sehingga dalam proses pendidikannya nanti tidak akan terjadi kemelencengan yang terlalu jauh dengan tujuan pendidikan yang direncanakan.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Paradigma di atas menjelaskan bahwasanya manusia / anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
  1. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
  2. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
  3. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
  4. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
  5. Peserta didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
  6. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Pandangan Ibnu Khaldun Terhadap Anak Didik
Kita sepakat bahwa untuk dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan terlebih dahulu. Oleh karena itu maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikan di dalamnya. Semakin bagus mutu / kualitas pendidikan suatu negara maka semakin maju peradaban yang dibangunnya.
Anak didik sebagai salah satu komponen pendidikan di dalamnya merupakan salah satu faktor terpenting dalam terlaksananya proses pendidikan. Selain sebagai objek manusia juga sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kedudukannya dalam proses kependidikan menempati posisi urgen sebagai syarat terjadinya proses pendidikan.
Berangkat dari urgensitas pendidikan dalam membangun sebuah peradaban, maka banyak para kaum intelektual yang mencoba mengkajinya lebih dalam sampai keakar permasalahannya.
Ibn Khaldun, seseorang yang terkenal sebagai sejarawan, sosiolog, dan juga antropolog, mencoba mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai anak didik, yang dalam hal ini anak didik menduduki objek sekaligus subjek dalam pendidikan.
Menurut Husayn Ahmad Amin (1995), dengan latar belakang seorang sosiolog, maka dalam bebagai kajiannya Ibn Khaldun bersandar sepenuhnya kepada pengamatan terhadap fenomena sosial dalam berbagai bangsa yang di dalamnya dia hidup.
Begitu pula dalam pemikirannya mengenai anak didik, ia mengaitkannya dengan aspek sosial yaitu hubungan anak didik dengan lingkungan dan masyarakat disekitarnya.
Lebih lanjut diterangkan, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Menurutnya, keberadaan masyarakat sangat penting untuk kehidupan manusia, karena sesungguhnya manusia memiliki watak bermasyarakat. Ini merupakan wujud implementasi dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, yang secara harfiahnya selalu membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Salah satu contoh yaitu dengan adanya oganisasi kemasyarakatan.
Melalui organisasi kemasyarakatan tersebut manusia juga dapat belajar bagaimana seharusnya menjadi orang yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian maka secara tidak langsung manusia lambat laun akan menemukan watak serta kepribadiannya sendiri.
Manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan tetapi, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat.
Karena itu, lingkungan sosial merupakan pemegang tanggungjawab dan sekaligus memberikan corak perilaku seorang manusia. Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan. Pendidikan sebagai suatu upaya dalam membentuk manusia ideal, mencoba mengajarkan dan mengajak manusia untuk berpikir mengenai segala sesuatu yang ada di muka bumi, sehingga hasrat ingin tahunya dapat terpenuhi.
Ibn Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya. Manusia, kata Ibn Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Dan hal itu sebagai bukti bahwa manusia memang memiliki tingkatan berpikir yang lebih tinggi dibanding dengan makhluk lainnya.
Disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, manusia juga memiliki sikap sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling menolong.
Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar tercapai proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan. Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membuuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
Dalam Al Qur`an sendiri manusia terdiri dari materi (jasad) dan immateri (ruh, jiwa, akal, qalb). Jika dihubungkan dengan pendidikan, maka manusia yang diberi pendidikan itu adalah jiwa dan akalnya. Pendidikan pada manusia adalah suatu proses pengembangan potensi jiwa dan akal yang tumbuh secara wajar dan seimbang, dalam masyarakat yang berkebudayaan.

·         Kedudukan  Peserta  Didik
A.      Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1.   Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
2.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi(perbedaan dalam tahap-tahap) perkembangan dan pertumbuhan.
3.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4.   Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
5.   Peserta didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

B.      Menurut Raka Joni menyatakan bahwa hakikat peserta didik didasarkan pada 4 hal yaitu:
1.      Peserta didik bertanggung jawab terhadap pendidikan sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
2.      Memiliki potensi baik fisik maupun psikologi yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insan yang unik.
3.      Memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
4.      Pada dasarnya merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungan.

·         Sifat  dan  Akhlak  Peserta  Didik
Belakangan ini pendidikan karakter sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dalam program pendidikan nasional. Pembangunan karakter (character building) melalui pendidikan karakter (character education) dipercaya sebagai keniscayaan apabila Indonesia ingin bermetamorfosa menjadi bangsa mampu berkompetisi dengan bangsa lain di dunia.
Mulai terdengar sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter semakin nyaring sekarang ini. Adalah seorang Thomas Lickona yang dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya, The Retrun of Character Education. Buku ini membawa perubahan di dunia Barat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Dari sinilah awal kebangkitan pendidikan karakter.
Karakter sebagaimana didefinisikan Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik.
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar tertentu atau aturan-aturan yang disepakati. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Lebih jauh dari itu, karakter bangsa dipercaya akan sangat menentukan kalanggengannya. Apabila sebuah bangsa mengalami kejatuhan karakter, sangat boleh jadi bangsa tersebut akan kehilangan segala-galanya. Jepang boleh saja luluh lantak ketika bom artom dijatuhkan sekutu pada Perang Dunia Ke-2. Namun, karakter bangsa Jepang yang kuat, dengan memegang teguh nilai-nilai budaya bangsa dan tetap mempertahankan etos kepahlawanannya, telah mengantar Jepang tampil sebagai bangsa yang besar dan maju.
Karakter diyakini sebagai kunci penting bagi tampilnya Jepang sebagai bangsa besar. Bahkan ketika bencana gempa dan tsunami dahsyat memorakporanda negeri itu, bangsa Jepang tetap tegar menerima tragedi yang memilukan itu. Karakter seperti itu menjadi barang sangat mahal di negeri kita. Indonesia kini justru sedang menghadapi darurat karakter. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih saja merajalela, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras dan perangkat undang-undang antikorupsi sudah dibuat.
Meningkatnya intensitas tawuran antarwarga, antarpelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa. Keburukan merajalela, sedang kebenaran sulit untuk mendapatkan tempatnya.
Di tengah masyarakat juga terjadi keengganan membeli hasil karya anak bangsanya sendiri, padahal banyak orang di negeri ini hidup dalam kemiskinan absolut. Sungguh ironis, 80% pasar tekstil dikuasai asing, 80% pasar farmasi dan 92% industri hampir seluruhnya dikuasai asing. Mainan anak-anak pun didominasi oleh asing.
Meski sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, Indonesia tetap tak mampu lebih maju dari Jepang yang pernah luluh lantak. Kejatuhan karakter jauh lebih parah dibandingkan kejatuhan ekonomi, kejatuhan karakter bukan hanya berdampak pada kehidupan ekonomi bangsa, tetapi mengancam kelangsungan bangsa tersebut. Oleh karenanya, berbagai fenomena di negeri ini kemudian mengarahkannya pada terbentuknya suatu program pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa.

Moralitas
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Berbeda dengan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Oleh karenanya para ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral. Karena dalam pendidikan karakter, di sana tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Kalau moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung bersumber dari otaknya.
Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.

Akhlak
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
Maka apabila para peserta didik terus menerus diberi asupan pendidikan karakter secara konsisten, tentunya akan menghasilkan peserta-peserta didik yang berkarakter. Hanya saja, pada akhirnya, karakter ini tidak sama dengan akhlak. Orang yang berkarakter bukan berarti orang yang berakhlak.
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan Ibn Miskawaih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Ia menawarkan konsep akhlak yang berdasar pada doktrin jalan tengah(The Golden Mean) antara lain dengan keseimbangan antara dua ekstrim. Ia membagi jiwa manusia dalam tiga bagian yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Posisi tengah al-bahimmiyah adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.

Dapat kita lihat dari pembahasan di atas, bahwa setiap peserta didik harus memiliki sifat dan akhlak yang baik, guna menjadikan peserta didik yang baik, etika, moral, berakhlak mulia. Bahwa sesungguhnya barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil.
Di jelaskan pula bahwa peserta didik itu mendapatkan ilmu dari guru. Sesungguhnya ilmu dating dari Allah, sehingga butuh etika mendekatkan diri dengan Allah. Peserta didik pun harus mempersiapkan kesehatan fisik, akal dan dirinya, sehingga perlu memperhatikan etika terhadap dirinya sendiri. Dan tidak lupa membersihkan hatinya. Belajar hakikatnya sama dengan ibadah, yang hanya sah jika dibarengi dengan hati yang bersih.


https://www.facebook.com/AqilaTambun?bookmark_t=page
https://www.facebook.com/pages/Pondok-Yatim-Daarussalam/146836378807157?ref=hl
https://www.facebook.com/PrismaDaarussalam?ref=hl
 

Share this article :

Posting Komentar

Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..

 
Support : Qye Ducky | Creating Website | Qye Course | Masduki | PAYTREN YUSUF MANSUR
Copyright © 2016/1437.H qyeowner.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Masduki Ibnu Zeeyah
Proudly powered by Blogger