Selamat datang di Blog Pribadi Untuk Sosial Dan Semua

Tarikh Tasyri Pada Masa MURAJJIHUN (KEEMASAN)

6 Februari 20130 komentar



Kata pengantar
         Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, inayah, serta kemampuan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad S.A.W yang telah mengantarkan umat manusia di jalan yang diridhai Allah.
            Makalah ini membahas tentang “Tarikh Tasyri’ pada masa murajjihun (keemasan)”. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. H. Majid Khon, M.Ag.  selaku dosen pengampu mata kuliah TARIKH TASYRI’ yang telah membumbing kami.       
Tiada gading yang tak retak,begitu pula dengan makalah ini yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan membantu dalam proses perkuliahan.

Jakarta, Januari 2013
penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar  ……………………………………………………………….        2
Daftar Isi ………………………………………………………………………        3
BAB  I            PENDAHULUAN ……………………………………………        4
BAB  II           PEMBAHASAN
A.    Masa khilafah Bani ‘Abbas ………………………………..        6
B.     Keadaan pemerintahan dan hukum islam ….…...…...…….        9
C.     Ijtihad dan Fiqh Di Masa Bani ‘Abbas ………..…………..        11
D.    puncaknya zaman keemasan …………..………………….         12
E.     Ulama-ulama di masa murajjihun ……….………………..          12
BAB  III         KESIMPULAN ………………………………………………..       14
Daftar Pustaka …………………….……………………………………………      15

BAB I
PENDAHULUAN
Pada awal abad kedua hingga pertengahan abad keempat hijriyah dapat dikatakan sebagai fase keemasan, karena hukum Islam pada masa tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Ijtihad hukum dari sumber-sumber hukum juga berkembang pesat  Ulama-ulama pada masa ini sangat giat dalam penulisan-penulisan dan pembukuan terhadap hukum-hukum Islam, seperti penulisan dan pembukuan hadits-hadits Nabi SAW, fatwa-fatwa para sahabat serta para Tabi’in, tafsir al Quran, kumpulan pendapat imam-imam Fiqih, dan penulisan ilmu Ushul Fiqih. Banyak hal  yang mempengaruhi keadaan tersebut diantaranya adalah karena luasnya wilayah Islam pada masa itu sehingga karena luasnya wilayah tersebut mendorong pemerintahan dan para ulama mengumpulkan dan membukukan hukum-hukum Islam dan fatwa-fatwa yang dapat dijadikan pedoman agar dapat menyebar keseluruh pelosok wilayah Islam. Selain itu dimasa tersebut telah lahir ulama-ulama Mazhab Mustaqqil yang sangat giat menggali hukum dari sumber-sumber hukum Islam. Diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali yang madzhab-madzhabnya sampai sekarang masih eksis dalam kehidupan umat Islam.
Setelah meninggalnya  para imam tersebut sampailah pada periode tarjih dalam mazhab fiqh atu yang lebih dikenal dengan masa Murajjihun . Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 Yang dimaksudkan dengan tarjih (Murajjhun) adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap  at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masa khilafah Bani ‘Abbas
Kekuasaan dinasti bani ‘Abbas, atau khilafah ‘Abbasyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan bani Ummayah. Dinamakan khilafah ‘Abbasyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-‘Abbas paman nabi Muhammad SAW. Dinasti ‘Abbasyah didirikan oleh abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-‘Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[1] selama dinasti ini berkuasa, pola  pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan bani ‘Abbas menjadi lima periode:
1)      Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh persia pertama.
2)      Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh turki pertama.
3)      Periode ketiga (334 H/945M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti buwaih dalam pemerintahan khilafah abbasya. Periode ini disebut juga masa pengaruh peria kedua.
4)      Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti bani seljuk dalam pemerintahan khilafah abbasyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh turki kedua
5)      Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258M), masa khilafah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota bagdad.[2]
Pada periode pertama pemerintaha Bani ‘Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para kholifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan begi perkmbangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta kesusasteraan berada pada zaman keemasan. Pada masa inilah Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.[3]
Ketika bani umayyah diruntuhkan oleh bani abbasyah tahun 132 H/ 750 M, hukum islam sebagaimana yang kita ketahui memperoleh gambaran peranannya. Hajat umat islam arab kepada sistem hukum baru sudah terpenuhi.[4]
Bani abbasyah melebihkan perbedaan-perbedaan dan oposisi sadar terhadap nenek moyang mereka lalu mencanangkan hukum tuhan dimuka bumi, sebagai bagian kebijakan ini mereka mengakui hukum agama, diajarkan oleh para spesialis yang saleh sebagai satu-satunya norma yang sah dalam islam. Mereka dengan sungguh-sungguh menarik perhatian para ahli hukum agama terhadap pengadilan mereka, lalu melakukan konsultasi tentang masalah-masalah yang mungkin ada dalam wewenang mereka.[5]
Apa yang dicapai periode abbasyah adalah hubungan tetap antara dinas qadhi dengan syari’ah (hukum agama) ini juga sudah disiapkan pada waktu umayyah tetapi dizaman abbasyah hal itu menjadi peraturan tetap bahwa qadhi (hakam hakim) haruslah seorang ahli syari’ah. Dia tidak lebih sebagai sekretaris gurbenur provinsi yang sah tetapi di angkat berdasarkan undang-undang oleh pemerintah pusat, dan selama dia diangkat sampai dibebaskan dari dinasnya, dia hanya melaksanakan hukum agama tanpa campur tangan pemerintah. [6]
Tugas qadhi dipisahkan dari administrasi umum  kemudian menjadi bergabung pada hukum islam dalam data dan prosedur, aturan-aturan formal dari padanya tentang bukti mengakibatkan tidak mungkin bagi seorang qadhi menangani penyelidikan tindak kriminil.[7]
Dizaman abbasyah tatkala nilai-nilai syari’ah sudah secara tetap dilaksanakan setelah hukum islam diakui, paling tidak secara teoritis sebagai satu-satunya norma tingkah laku yang sah untuk orang-orang islam, dimana para qadhi yang diangkat oleh pemerintah pusat terikat untuk melaksanakan hukum ini di bawah wewenang langsung khalifah.[8]

B.     Keadaan pemerintahan dan hukum islam
       I.            Keadaan pemerintahan
Pada pertengahan abad keempat hijriyah, keadaan politik di beberapa daerah Islam mengalami kemunduran yang menyebabkan ikatan-ikatan politik antara daerah-daerah Islam di masa pemerintahan bani Abbasiyah semakin terputus.  Di sisi lain bani Umayah di Andalusia semakin kuat dibawah kepemimpinan Abadurrahaman an-Nashir. Di Afrika Utara, Syi’ah Ismailiyah telah mendirikan suatu pemerintahan dengan nama daulah Fathimiyah  di bawah pimpinan  Ubaidullah Al Mahdi Al Fathimy  yang beribu kotakan  di kota al Mahdiyah yang terletak di dekat Tunis. Di Yaman telah berdiri Syiah Zaidiyah yang juga semakin kuat. Ketika itu, Daulah al-Dailami yang terkenal dengan Bani Buwaihi telah memegang kekuasaan pusat di Baghdad sedangkan daulah bani Abbasiyah ketika itu sudah terpecah-pecah.[9]
Walaupun selama bani Buwaih bertahta sempat membuahkan kemajuan yang berarti, tetapi kekuatan politik bani Buwaih tidak bertahan lama, setelah generasi pertama, kekuasaan menjadi ajang pertikaian antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Perebutan kekuasaaan dikalangan keturunan bani Buwaih adalah faktor internal kehancuran pemerintahan  mereka. Selain itu, juga faktor eksternal dimana Bizantium semakin gencar dalam penyerangannya ke wilayah Islam membuat kondisi semakin runyam. Keadaan politik yang tidak stabil tersebut berimbas pada keluarnya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari pemerintah pusat di Baghdad. Dinasti-dinasati tersebut antara lain adalah dinasti Fathimiyah yang memplokamirkan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir. Ikhsidiyah di Mesir dan di Syiria. Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghasnawi di Ghasna dekat Kabul, dan pada puncaknya yaitu jatuhnya kekuasaan pusat dari bani Buwaih kepada bani Saljuk.[10]
Begitulah gambaran dunia Islam pada masa pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Dimana keadaan politik pemerintahan Islam tidak stabil karena faktor-faktor internal dan eksternal yang sangat merugikan bagi Islam. Banyak daerah-daerah memerdekakan diri dari pemerintahan pusat dan menjadi negeri kecil-kecil sehingga negeri-negeri tersebut lebih disibukan dengan perang antar negeri tersebut. Hal tersebut berimbas pada terputusnya hubungan antar daerah-daerah Islam , daerah-daerahnya terpencar dan tidak ada kesatuan politik.[11]
    II.            Hukum islam
Pada periode ini Wilayah kekuasaan Islam telah terbagi-bagi dalam beberapa bagian yang setiap bagian dipimpin oleh orang wali (Gubernur) Yang disebut dengan Amirul Mukminin. Akibat pembagian ini, umat Islam tertimpa kelemahan dan kemerosotan karena negara-negara ini saling berbantah – bantahan, banyak terjadi fitnah, terputusnya hubungan antar daerah karena permusuhan dan perpecahan telah menggantikan ikatan persaudaraan mereka.
Dalam cuaca yang berawan tebal dan kondisi yang buruk tersebut, para ulama menyampaikan risalahnya, menunaikan amanatnya dan mengeluarkan apa yang dibawanya serta banyak bermunculan dari kalangan ulama besar dan pemikir. Hanya saja hal ihwal yang buruk itu dan faktor-faktor kegoncangan yang kuat dapat mempengaruhi pertumbuhan pergerakan ilmiah dan kembali mundur dengan bergantinya dari kuat menjadi lemah, dari maju menjadi mundur, dari semangat menjadi lesu, dari pemuda menjadi tua dan matinya ruh kebebasan berfikir para ulama. Setelah Muhammad Bin jarir Ath-Thabari wafat pada tahun 531 H tidak ditemukan lagi orang yang menyatakan dirinya  sampai pada tingkatan mujtahid mustaqil baik dalam berfatwa maupun dalam mengistimbath hukum serta mengambil hukum-hukumnya dari al- Qur’an dan Sunnah tanpa terikat dengan pemikiran salah seorang imam (tokoh) mereka menganggap bahwa kemampunya tidak kuat untuk menggali ilmu dari al- Qur’an dan As sunnah serta mereka bukanlah ahlinya untuk melihat pada keduanya dan mengistimbath dari keduanya, dalam diri mereka telah tumbuh benih-benih taklid (mengikuti) sehingga mereka lebih bersandar pada fikih Abu Hanifah, Maliki, Syafi’ie, Ibnu Hanbal dan yang lainya yang mazhabnya tersebar ketika itu. Meraka membatasi dirinya pada ruang lingkup yang dijadikan pokok-pokok mazhab tersebut, tanpa malampaui dan melewati batasanya. Setiap mereka menetapi satu mazhab tertentu tanpa malampaui dan mengerahkan semua kekuatan dalam mendukung mazhab tersebut baik secara global maupun secara rinci.[12]
Pada periode ini orang cukup mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari cara – caranya malakukan istimbat hukum- hukum yang dibukukan tersebut. Dalam setiap madzhab, para ulama menyaring dan membuang pernyataan yang lemah dari imam madzhab mereka. Mereka juga mengklasifikasi narasi-narasi para pendiri madzhab mereka sesuai dengan keakuratannya.[13] Maka, karangan-karangan mereka tidak lebih dari ringkasan karangan sebelumnya, atau penjelasanya (syarah) atau pengumpulan pendapat yang terpisah–pisah dalam berbagai kitab. Dengan keberlebihan dan melampaui batas dalam fanatik terhadap mazhab-mazhab salaf ini, mereka mendirikan benteng antara umat dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, syariat itu menjadi tulisan-tulisan para fuqaha dan pendapat-pendapatnya, serta kesungguhan meraka hanya sampai pada memahami ucapan para imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Sedang ijtihad telah mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada awal abad keempat. Pada periode ini, dari golongan ulama terdapat pula orang yang tidak kalah dengan imam–imam sebelumnya dalam pengetahuan tentang pokok-pokok syariat dan cara–cara istimbat, namun mereka tidak cukup untuk berani muncul secara bebas seperti yang dirasakan oleh para pendahulunya yang mengikat dirinya dengan kekuatanya sendiri serta menyelesaikan kesulitan-kesulitan dengan jalan ijtihad. Seperti Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf Al- Juwaini telah menyatakan dalam penyusunan kitab al- Muhith, tidak mau terikat dengan satu mazhab dan mendasarkan pada nash-nash syara’ yang tidak terhitung serta menjauhi sikap fanatik mazhab. Kitab Al- Juwaini tersebut sampai kepada al- Hafidz Abi Bakar Al- Baihaqi sebanyak tiga juz lalu beliau mengkritiknya tentang kelemahan hadist-hadistnya dan menjelasakan padanya bahwa yang mengambil hadist yang ada pada dirinya adalah syafi’i, dan ketidaksukaanya terhadap hadist-hadist yang dikeluarkan Al- Juwaini dalam kitabnya adalah karena terdapat kecacatan yang diketahuinya sebagai orang yang menekuni kreasi para ahli hadist. Ketika risalah Al- Baihaqi sampai pada Al- Juwaini, ia berkata: “ Ini adalah keberkahan Ilmu.” Dan ia mendoakan Al- Baihaqi serta ia tidak menyempurnakan karangannya. Dari sini dapat anda lihat bahwa Al-Juwaini berhenti berijtihad karena ia bukan tokoh dalam hadist, padahal imam syafi’I sendiri bersandar dalam pentashihan hadist-hadist kepada Ahli Hadist yang dapat memutuskan dan membedakan antara hadist shahih dan cacatnya.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa ijtihad pada masa itu tidak mati secara sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dengan semakin hilangnya ruh ijtihad dalam hati para ulama kala itu, hilangnya persatuan daerah-daerah Islam, dan semakin banyaknya perpecahan dalam tubuh Islam.[14]
C.    Ijtihad dan Fiqh Di Masa Bani ‘Abbas
Dipermulaan periode Bani ‘Abbas lahirlah imam-imam mujtadid yang kenamaan dari golongan Ahli Hadits dan golongan Ahli Qiyas yang mempunyai pengikut  dan dibukukan fatwa-fatwannya .
Diantaranya para imam-imam mijtahiddin yang timbul dalam periode ini, ialah imam empat, yang hingga masa kini madzhab-madzhabnya mendapatkan sambutan ramai dianut dengan orang dengan kokoh.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan abbasyah,yaitu: imam abu hanifa (700 -767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di kufah, kota yang berada ditengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi.[15] Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadist.
Walaupun selama bani Buwaih bertahta sempat membuahkan kemajuan yang berarti, tetapi kekuatan politik bani Buwaih tidak bertahan lama, setelah generasi pertama, kekuasaan menjadi ajang pertikaian antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Perebutan kekuasaaan dikalangan keturunan bani Buwaih adalah faktor internal kehancuran pemerintahan  mereka. Selain itu, juga faktor eksternal dimana Bizantium semakin gencar dalam penyerangannya ke wilayah Islam membuat kondisi semakin runyam. Keadaan politik yang tidak stabil tersebut berimbas pada keluarnya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari pemerintah pusat di Baghdad. Dinasti-dinasati tersebut antara lain adalah dinasti Fathimiyah yang memplokamirkan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir. Ikhsidiyah di Mesir dan di Syiria. Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghasnawi di Ghasna dekat Kabul, dan pada puncaknya yaitu jatuhnya kekuasaan pusat dari bani Buwaih kepada bani Saljuk.
Berbeda dengan abu hanifa, imam malik (713 – 795 M) banyak menggunakan hadist dan tradisi masyarakat madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh imam syafi’I (767 – 820 M) dan imam ahmad ibn hanbal (780 – 855 M).[16]
Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan bani abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.[17]
Dalam periode - periode ini, barulah dibuat aturan – aturan ijtihad, disusun usul fiqh dan barulah buah ijtihad (hasil – hasil ijtihad) itu, senyata – nyatanya karena dalam periode inilah fiqh dibukukan. Dalam periode ini pula mereka para mujtahiddin mulai memperluas (membikin) hokum dan membuat macam – macam masalah yang ditakdir – takdirkan (fiqh iftirodli). Dalam periode yang telah lalau hokum – hokum itu diberikan dan dicari jika telah ada kejadian yang menghajatinnya dalam periode ini pula muncul berbagai madzhab dan berjangkit perselisihan dengan hebat dan luas .
Dalam periode ini timbul pertentangan pendapat tentang :
Ø  Memakai hadits sebagai dasar syara’ (hokum); karena telah bertebaran hadits palsu yang dibuat oleh para pendusta, para perusak agama.
Dalam maslah ini timbul perselisihan dalam hal itu. Dan yang menjadi titik berat perselisihan adalah : apakah hadits itu suatu pokok dari dasar – dasar tasyri’ dan kalau benar hadits itu suatu dasar, maka apakah jalan berpegang kepadanya ? Segolongan ulama’ menolak hadits; mereka mencukupi dengan dasar Al-qur’an saja. Yang menolak ini ada yang karena tidak mempercayai perowinya dan ada juga yang menolak sama sekali.
Ø  Memakai ijma’ sebagai dasar tasyri’.
Sebagaimana mereka berselisih tentang hal istihsan, demikian pula pertengkaran faham antara ahli qiyas dengan ahli hadits dalam perkara menggunakan qiyas, makin menghebat.
Pokok-pokok perselisihan (asbabul ikhtilaf) dalam periode bani abbas dapat disimpulkan dalam urusan-urusan dibawah ini:
Ø  Ada kalanya nash itu tiada terang tujuannya, yang menyebabkan berlain-lainan paham para mujtahidien.
Ø  Ada  kalanya nash itu sampai kepada sebahagian para mujtahidien, tidak sampai yang lain.karena itu paham mereka bertentangan.
Dalam pada itu semua mengaku: “apabila telah shahih hadits maka itulah mazhabku.”
Mengingat hal ini, maka sesungguhnya mazhab-mazhab itu, walau betapapun banyaknya, dapat kita persatukan, jika semua pemeluknya (orang-orang yang memegang peranan dalam tiap-tiap mazhab itu) telah insaf dengan sempurna.
Ø  Karena sebagian ulama mempergunakan fikiran pada masalah-masalah yang tidak terang ada hukumnya didalam Al-Qur’an, sedang yang sebagian tinggal berdiam diri, tidak mau memberi hukum
D.    puncaknya zaman keemasan
Puncaknya zaman keemasan islam pada zaman Abbasyah[18]
E.     Ulama-ulama di masa murajjihun
Pada masa murajjihun, mayoritas ulama berijtihad dalam bentuk tarjih (penguatan) terhadap pendapat yang ada dalam mazhab sebelum mereka (mujtahid mustaqil). Akibatnya terdapat banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab. Berikut ini adalah ulama-ulama pada masa murajjihun:
A.    Ulama-ulama dari golongan hanafiyah
ü  Abul Hasan Ubaidullah ibn Hasan Al Karkhi
ü  Abu Bakar Ahmad ibn Ali Ar Razy al Jashshas
ü  Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah al Balkhi
ü  Abu Abdullah Yusuf ibn Muhammad al Jurjani
ü  Abul Husein Ahmad ibn Muhammad al Qarudi al Baghdadi
ü  Abu Zaid Ubaidullah ibn Umar ad Dabusi as Samarqandi
ü  Syamsul Aimmah Abdul Aziz ibn Ahmad al Halwani
B.     Ulama-ulama dari golongan malikiyah
ü  Muhammad bin Yahya bin Lubbah al Andalusi
ü  Bakar bin Ala al Qusyairi
ü  Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al Mu’ithi al Andalusi
ü  Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid Abu Rahman
ü  Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al Abhari
ü  Al Qadhi Abdul Wahab bin Nasir al Baghdadi
ü  Abul Walid Sulaiman bi Qalaf al Baji
C.     Ulama-ulama dari golongan Syafi’iyyah
ü  Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al Marwazi
ü  Abu Ahmad Muhammad bin Said bin Abdul Qadhi al Khawarizimi
ü  Abul Ma’ali Abdul malik bin Abdullah al Juwaini
ü  Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali
ü  Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad al Qaswini ar Rafi’i
ü  Muhyiddin abu Zakariya yahya bin Sharaf bin Muri an Nawawi
D.    Ulama-ulama dari golongan Hanbaliyyah
ü  Mufiquddin abu Muhammad Abdullah bin Ahmad ibnu Qadamah al Muqaddasi
ü  Ahmad ibn Ja’far ibn Muhammad al Munady
ü  Ahmad ibn Ja’far ibn hamdan
ü  Ahmad ibn Muhammad ibn hazm
ü  Umar ibn Husain ibn Abdullah ibn Ahmad
ü  Muhammad ibn Ahmad ibn Ismail

BAB III
Kesimpulan
Masa Murajjihun merupakan masa yang ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing masing, sehingga mujtahid mustaqill sudah tidak terdapat lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Masa murajjihun merupakan adalah masa dimana sangat kuatnya upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam madzhab mereka. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri. Pada periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut seperti dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja selain itu pada masa ini telah muncul sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap ke-jumud-an (kebekuan berpikir) dan  taqlid  (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. Sebab lain yaitu munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti.
Dari sinilah benih-benih taqlid muncul pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar. Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya dikala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga islam mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan bani abbas periode pertama.



Daftar pustaka:
*      Yati,badri.1995.sejarah peradaban islam.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
*      Nasution,harun.1985.islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta:UI Press.
*      Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama islam . 1985 . pengantar hukum islam.Jakarta:Departemen agama RI.
*      Abidin,zainal.1977.sejarah islam dan umatnya sampai sekarang . Jakarta:bulan bintang.
*      Bik,hudari.1980.terjemah tarikh al tasyri’ al islam . Semarang : daarul yahya.
*      Hanafi,ahmad.1970.pengantar sejarah hokum islam. Jakarta: bulan bintang.
*      Ali,Muhammad.2003.sejarah fiqh islam. Jakarta: pustaka al kautsar.
*      Bilal Philips,abu ameenah.2005.asal ushul dan perkembangan fiqh. Bandung:nusa media.


[1] Badri yatim, sejarah peradaban islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo persada, 1995), hlm. 49.
[2] Ibid., hlm. 49-50.
[3] Ibid., hlm 51
[4] Joseph Schacht, pengantar hukum islam, 1985, hlm. 66
[5] Ibid., hlm 66.
[6] Ibid., hlm. 67.
[7] Ibid., hlm 68.
[8] Ibid., hlm 71
[9] Hudari bik, terjemah tarikh al tasyri’ al islam, (semarang: daarul yahya, 1980), hlm. 519-520.
[10] Badri yatim., op cit , hlm. 71-72
[11] Ahmad hanafi, pengantar dan sejarah hokum islam, (Jakarta:bulan bintang, 1970), hlm. 206.
[12]Muhammad ali, sejarah fiqh islam, (Jakarta:pustaka al kautsar, 2003), hlm.163-164.
[13]Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, 2005: Bandung, Nusamedia Hal 141

[14]Muhammad, Ali as Sayis, Sejarah Fikih Islam, 2003: Jakarta, Pustaka al Kautsar. Hal 165-166

[15] Harun nasution, islam ditinjajau dari berbagai aspeknya, jilid 2, hlm. 14
[16] Badri yatim, op. cit., hlm 56-57

[17] Ibid., hlm. 57.
[18] Zainal abidin, sejarah islam dan umatnya sampai sekarang, (Jakarta:bulan bintang, cetakan ketiga), hlm. 213.
Share this article :

Posting Komentar

Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..

 
Support : Qye Ducky | Creating Website | Qye Course | Masduki | PAYTREN YUSUF MANSUR
Copyright © 2016/1437.H qyeowner.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Masduki Ibnu Zeeyah
Proudly powered by Blogger