(bahasa Inggris: United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization, disingkat UNESCO)
merupakan badan khusus PBB yang didirikan pada 1945.
Tujuan organisasi adalah mendukung perdamaian dan keamanan dengan mempromosikan
kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya dalam
rangka meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan kepada keadilan, peraturan hukum, HAM, dan kebebasan hakiki. (Artikel 1 dari
konstitusi UNESCO).
UNESCO memiliki anggota 191 negara.
Organisasi ini bermarkas di Paris, Perancis, dengan 50 kantor wilayah serta beberapa institut dan
pusat di seluruh dunia. UNESCO memiliki lima program utama yang disebarluaskan
melalui: pendidikan, ilmu alam, ilmu sosial & manusia, budaya, serta
komunikasi & informasi. Proyek yang disponsori oleh UNESCO termasuk program
baca-tulis, teknis, dan pelatihan-guru; program ilmu internasional; proyek
sejarah regional dan budaya, promosi keragaman
budaya; kerja sama persetujuan internasional untuk mengamankan
warisan budaya dan alam serta memelihara HAM;
dan mencoba untuk memperbaiki perbedaan digital dunia.
Upaya
meningkatkan kualitas suatu bangsa tidak ada cara lain kecuali melalui
peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu UNESCO mencanangkan
empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yaitu: (1) learning to Know, (2)
learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.
Untuk
mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus
mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut
untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka
mengembangkan penguasaan pengetahuan
siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
Syukron Atas Kunjungan
Anda..
Mohon Luangkan waktu
ANDA sebentar untuk MengKlik Web diBawah ini.
karena Kami sangat membutuhkan bantuan ANDA..
karena Kami sangat membutuhkan bantuan ANDA..
Posting Komentar
Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..