Uraian
ini meliputi kedudukan strategis pendidikan nasional, Pendidikan berbasis
masyarakat dalam era globalisasi dan Otonomi Daerah tentang pendidikan
nasional.
1.
Kedudukan Strategis Pendidikan Nasional
Presiden
Suharto pernah mendapat penghargaan dari UNESCO tahun 1989 ketika lembaga ini
melihat perkembangan pendidikan di Indonesia dengan diundangkannya UU.No 2
tahun 1989 telah dapat dijadikan contoh bagi negara berkembang lainnya. Namun
pertanyaan muncul mengapa pendidikan yang relatif telah merata tidak mampu
melaksanakan fungsi nasionalnya secara efektif dan itu terbukti kita menghadapi
krisis ekonomi yang juga diikuti krisis moral berkepanjangan.
Ketika
negara kita menghadapi krisis moneter yang diikuti krisis ekonomi dan krisis
multidimensi telah membawa situasi kehidupan negara bangsa menjadi tidak
menentu. Kalau banyak negara, yang kini menjadi negara maju, saat menghadapi
krisis menjadikan masyarakatnya bersatu-padu untuk bersama-sama menghadapi
krisis dan mengatasinya kembali bangkit dan berjaya, sedang negara dan
masyarakat kita malah menjadi kacau. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dan alat-alat negara menurun. Toleransi antar kelompok masyarakat yang juga
pernah menjadi teladan berubah menjadi sikap saling mencurigai. Tinkah laku
brutal dan tidak bertanggung jawab, serta rusaknya tatanan disiplin memperparah
kondisi bangsa dan merosotnya cermin bermoral dan berkeadaban. Jika kondisi
inbi kita kembalikan ke dunia pendidikan, maka akan lahir pertanyaan apa yang
salah dari pendidikan nasional kita? Memang pada era orde baru, masyarakat
terutama generasi muda menyaksikan dan merasakan adanya kesenjangan antara idealisme
dengan kenyataan, antara kata dan perbuatan, antara cita-cita ketentuan hukum
dan pelaksanaan hukum, antara nilai luhur yang diceramahkan dengan praktek
kehidupan. Kesemuanya jelas memperparah pondasi mental manusia Indonesia,
terutama generasi muda dan kelompok masyarakat yang kurang/tidak beruntung.
Sehingga secara potensial setiap saat dapat muncul menjadi bom waktu atau
paling tidak muncul protes melalui tingkah laku radikal yang kurang sesuai
dengan norma sosial, susila dan agama.
Semua
yang digambarkan di atas menjadi pertanda bahwa pendidikan nasional yang selama
ini dilaksanakan masih kurang bermakna dan bahkan jauh dari harapan dan
cita-cita para pendiri bangsa ini. Belum bermaknanya pendidikan nasional yang
telah merata ( setidaknya untuk ukuran saat itu) tidak lain karena lembaga
pendidikan tidak memperoleh dukungan yang memadai untuk dapat berlangsungnya
proses sosialisasi dan pembudayaan berbagai watak, prilaku dan nilai-nilai dari
manusia Indonesia yang hidup di zaman modern, yang sarat dengan tantangan dan
persaingan.
Jadi
berbagai krisis yang terjadi memberikan bukti kepad kita bahwa sasaran umum
pendidikan nasional, seperti meningkatnya kecerdasan bangsa, tetapi terbukti
rentannya negara dalam menghadapi hantaman krisis ekonomi kawasan, meningkatnya
kemajuan masyarakat, tetapi ketergantungan pada modal asing, tehnologi dan
keahlian impor, dan meningkatnya mutu kehidupan, tetapi angka masyarakat yang
berada di bawah garis kemiskinan meningkat, adalah bukti pendidikan nasional
belum tercapai.
Pendidikan
nasional mempunyai kedudukan yang strategis dalam kerangka melahirkan manusia
Indonesia yang berakhlak, bermoral, berkepribadian, dinamis, dan profesional,
manusia yang berkualitas yang mampu mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan
makmur. Akan tetapi ternyata seperti nampak dari kondisi ekonomi, politik,
IPTEK, dan sosial budaya menunjukkan belum bermaknanya dampak pendidikan
nasional sebagaimana yang diharapkan. Dri sini timbul pertanyuaan; Mengapa
sistem pendidikan yang telah merata dan secara filosofis, baik tujuan maupun
fungsinya, telah secalan dengan cita-cita pembangunana bangsa ( saat itu) belum
berhasil mempengaruhi kinerja sistem sosial negara bangsa secara efektif dalam
menghadapi krisis mulitidimensi ?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut berikut ini diajukan beberapa hal yang meliputi:
1.
pendidikan dan proses pembangunan peradaban
2.
pendidikan sebagai proses sosialisasi dan
pembudayaan
3.
kondisi infrastruktur dan berbagai komponen
pendidikan sebagai pendukung terjadinya proses pembudayaan
4.
model proses pembelajaran dan konsekuensinya
5.
perana pemerintah dalam melaksanakan sistem
pendidikan nasional yang menunjang pembangunan peradaban- negara dan bangsa.
Uraian
masing-masing bagian diekplorasi oleh mahasiswa untuk tiap kelompok mengambil
satu sub judul
Pada hakikatnya sistem
pendidikan nasional yang diatur dalam Undang-Undang N.2 tahun 1989 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang N.20 tahun 2003 meletakkan kaidah filosofis
pendidikan nasional sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju,
adil makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, agar menjadi
bangsa yang mandiri.
Sesuai yang dicanangkan UNESCO bahwa
pendidikan kita memasuki abad 21 perlu berangkat dari empat pilar proses
pembelajaran yaitu: (1) Learning to Know, (2) Learning to do, (3) Learning to
be, dan (4) Learning to live to gether.
Pelaksanaan pilar
pertama sejalan dengan penerapan paradigma ilmu pengetahuan. Melalui paradigma
ini peserta didik diharapkan memahami dan menghayati bagaimana suatu ilmu
pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat fdalam lingkungannya.
Melalui pendidikan semacam ini sejak SD/MI samapai perguruan tinggi diharapkan
akan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai khalifah
Allah di bumi, diberi kemampuan untuk mengelola dan memberdayakan alam bagi
kemajuan taraf hidup manusia.
Penerapan pilar kedua
merupakan suatu upaya agar peserta didik menghayati proses belajar dengan
melakukan sesuatu yang bermakna, suatu proses pembelajaran yang dikenal dengan actif
learning. Melalui pendekatan semacam ini peserta didik misalnya tidak harus
selalu mencatat ceramah guru, melainkan ia diminta untuk membawa sendiri bahan
yang akan dibahas di kelas dan selanjutnya mencarikan pemecahannya bersama guru
dan kawan-kawannya.
Bentuk lain yang
termasuk belajar aktif dapat berupa penugasan membuat ringkasan buku atau
artikel yang ditugaskan kepada peserta didik untuk membacanya. Dan banyak
bentuk belajar aktif yang memungkinkan peserta didik berkesempatan aktif, baik
secara intelektual, motorik, maupun emosional. Jika pendekatan belajar ini
dimulai sejak dini, maka produktifitas pembelajaran akan menghasilkan akumulasi
yang makin mantap.
Pelaksanaan pilar ketiga
adalah suatu prinsip pendidikan yang dirancang bagi terjadinya proses
pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri. Rasa
kemandirian akan tumbuh dari sikap percaya diri, dan sikap percaya diri akan
lahir dari pemahaman dan pengenalan dirinya secara tepat. Atas dasar ini maka
proses pembelajaran harus lebih dulu peserta didik mengenal dirinya dengan
penuh kebahagiaan. Dan ini sulit diperoleh dari proses pembelajaran tradisional
yang lebih menekankan pada aspek hafalan. Kecuali untuk bidang-bidang tertentu.
Itu sebabnya kini dikembangkan pendekatan PAIKEM.
Maka dengan diremukannya
konsep Emosional Intelegence sebagai indikator kematangan pribadi
seseorang yang meliputi: (1) kesadaran diri dan penguasaan diri, (2) persisten
( ajeg) (3) semangat dan motivasi diri, dan (4) empathy ( tepa selira)serta
kepekaan sosial ( social deftness) maka keperluan untuk penerapan pilar proses
belajar learning to be, sangatlah penting. Rasa empathy itu dikembangkan untuk bisa
menerapkan pilar keempat yaitu learning to live to gether.
Penerapan pilar keempat,
pilar ini dalam konteks dunia internasional makin dirasa penting karena dalam
era globalisasi yang sarat dengan muatan tehnologi dan perdagangan bebas,
dimensi kemanusiaan dijunjung tinggi. Karena itu proses pembelajaran haruslah
memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif
dan terus menerus. Pertentangan yang dasarnya karena perbedaan ras, agama,
suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi yang masih potensial terjadi
perlu dihindarkan. Karena pendidikan nilai kemanusiaan, moral dan agama yang melandasi hubungan antar
manusia perlu diintensifkan.
Maka bagi kita
pendidikan kewargaan/Pancasila, agama dan IPS secara potensial dapat dijadikan
wahana pendidikan nilai. Namun demikian potensi itu tidak teraktualisasikan
apabila pelajaran-pelajaran tersebut hanya berhenti pada tataran hafalan yang
berorientasi kognitif.
Ada beberapa strategi
yang perlu dikembangkan dalam menerapkan empat pilar proses pembelajaran
sehingga fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercapai yaitu:
1.
Perlu dikembnagkan suatu sitem kurikulum yang
memungkinkan dapat berlangsungnya proses pembelajaran yang secara
epistimologis, psikologis, dan sosial/moral relevan. Konsekuensi dari ini
adalah pembharuan kurikulum dengan mengutamakan materi yang esensiali yang
relevan dengan tujuan pendidikan nasional.
2.
Perlu peningkatan kualitas profesional tenaga
kependidikan melalui penyempurnaan sitem pendidikan prajabatan dan dalam
jabatan guru, serta pembinaan guru untuk meningkatkan kewibawaan guru dan
tenaga kependidikan lainnya.
3.
Perlu pengembangan sistem pengelolaan pendidikan
dengan menegakkan sekolah/madrasah sebagai pusat pembudayaan nilai yang sesuai
tuntutan masyarakat maju yang berdasarkan Pancasila.
4.
Perlu mengembangkan sistem pendidikan tinggi
terutama Universitas/Institut yang benar-benar mampu melaksanakan dan
mengembangkan doktrin Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga Perguruan Tinggi
benar-benar menjadi agen pembangunan masyarakat daerahnya, khususnya dan bagi
negara dan bangsa umumnya.
5.
Perlu menyamakan persepsi masyarakat terutama orang
tua dan tokoh masyarakat serta pemimpin formal tentnang perlunya memberikan
dukungan bagi terlaksananya fungsi dan tercapainya tujuan pendidikan nasional
dalam rangka memperkuat daya tahan ekonomi nasional.
2.
Pendidikan Berbasis Masyarakat Dalam Era Globalisasi
Krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang lalu tidak hanya melanda Indonesia,
melainkan melanda hampir seluruh Asia Timur ( termasuk seluruh Asia Tenggara).
Akan tetpi hanya Indonesia yang krisis ekonominya berdampak pada timbulnya
krisis multidimensi, termasuk krisis kepercayaan terhadap pemerintah, kepada
sesama bangsa karena berlainan agama, suku dan status ekonomi.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dilihat dari segi pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan Indonesia termasuk negara berkembang yang maju, akan tetapi mengapa
pendidikan yang telah demikian merata ( partisipasi SD/SI 96%, SLTP 67%, SLTA
55% dan Perguruan Tinggi 15% serta melek huruf 85%) namun dirasakan kurang
berfungsi bagi meningkatnya kinerja sistem negara dalam memenuhi fungsi
konstitusionalnya. Pertanyaan ini dapat dijawab apabila kita mendalami
kedudukan Indonesia dalam kontek perkembangan peradaban dunia.
Indonesia
dalam posisinya sebagai negara terjajah, peradaban Barat yang saat itu menjadi
juru kunci dunia diperkenalkan oleh Belanda melalui kaum elitnya.
Masyarakat
Indonesia melalui pendidikan yang diperkenalkan Belanda itu dipisahkan dari
kalangan elitnya melalui sistem pendidikan yang isinya berbeda dari pendidikan
yang diberikan kepada kalangan atas masyarakat Indonesia. Karena itu pada saat proklamasi kemerdekaan
mayoritas rakyat Indonesia belum tersentuh oleh budaya modern. Oleh karena itu
para pendiri Republik ini melalui UUD 45 pada pasal 31 ayat 2 mengamanatkan
agar pesan mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan modern
dan dalam wadah sistem pendidikan nasional. Namun hasilnya sebagaimana yang
kita rasakan bahkan sebahagian berpengaruh negatif, yaitu lahirnya generasi yang
asing dari lingkungannya. Karena itu timbul pertanyaan apa yang salah dari
pendidikan kita?.
Salah
satu hal dari kekeliruan yang kita rasakan adalah bahwa kurikulum kita
bertahun-tahun hanya diarahkan untuk mengantar peserta didik ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Akibatnya lulusan SLTP, dan SLTA, sebagai
pendidikan dasar dan menengah tidak memiliki kemampuan dan sikap dasar serta
keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat. Hal
ini mengakibatkan masyarakat tidak merasa membutuhkan pendidikan, dan akibat
lebih lanjut adalah mereka tidak merasa memiliki, karena lulusannya tidak
bermanfaat bagi kemajuan keluarga dan masyarakatnya.
Lulusan
pendidikan menengah seharusnya dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya di lembaga pendidikan untuk dapat memahami, mendayagunakan atau
menyesuaikan dirinya dengan tuntutan lingkungan, baik lokal, nasional regional
dan internasional.
Posisi
pendidikan tinggi dilihat dari fungsinya adalah menyiapkan anggota masyarakat
yang mampu menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan IPTEK. Pertanyaannya
adalah Seberapa jauh fungsi ini telah dapat dicapai?.
Tuntutan
Ideal dari produk pendidikan nasional kita sebenarnya adalah mampu mengolah dan
mengelola sumber daya alam, mampu mengelola modal yang dimiliki, mampu
mengembangkan tehnologi, mampu menghasilkan produksi yang bermutu yang mampu
bersaing di pasaran dunia dan mampu mengelola perdagangan internasional. Namun
kenyataannya dunia pendidikan tinggi kita hanya mampu lulusan-lulusan yang ber
IPK tinggi, bahkan kadang-kadang judtru menjadi beban masyarakat dan bangsa.
Ditambah lagi prilakunya yang tidak berbeda dengan masyarakat yang tidak
terdidik.
Pemerintah
melalui sistem pengelolaan berbasis masyarakat dimaksukan agar sekolah memiliki
kemandirian, kemitraan, dan partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas.
Sedang
pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi
perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diukur dalam ketentuan perundangan
memberikan kebebasan dan mendorong kemandiriandalam pengelolaan akademik,
operasional, personalia, keuangan dan fungsi-fungsi lainnya.
3.
Otonomi Daerah Tentang Pendidikan Nasional
Amanat
UUD 45 untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dimaksudkan agar
dapat dilaksanakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan upaya memajukan
kebudayaan nasional. Dalam kaitan ini maka pendidikan adalah sarana strategis
bagi pembangunan karakter dan peradaban bangsa. Ini berarti bahwa misi, fungsi
dan ini pendidikan nasional dimanapun diselenggarakan harus menjamin dapat
dicapainya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yakni pembangunan karakter dan
peradaban negara bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila.
Untuk
itu unsur-unsur perangkat pendidikan, terutama isi pendidikan yang tercermin
dalam kurikulum dan tenaga kependidikan yang meliputi; guru, pengawas, penilik
harus menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah dengan kewenangan
otonominya memiliki kemerdekaan untuk mengoptimalkan tercapainya misi pendidikan
nasionaldengan meningkatkan kinerja sistem pendidikan melalui pemberian
dukungan bagi tersedianya sarana, prasarana dan dana yang memadai untuk dapat
dilaksanakannya layanan pendidikan secara merata dan dapat terlaksananya proses
pendidikan nasional secara relevan, efisien dan efektif.
Di
dalam UU skdiknas No 20 tahun 2003 bab 13 pasal 46 ayat (2) dijelaskan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran
pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 aya(4) UUD 45.
Bahkan
lebih jauh di dalam Bab 14 UU No 20 tahun 2003 pasal 50 ayat (3) dijelaskan
bahwa Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Satuan
Tingkat Pendidikan sebagaimana dimaksud adealah harus memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Terakriditasi BAN S/M
b.
Terakreditasi ISO 9001-2000
c.
Pembelajaran menggunakan bilingual
d.
Pembelajaran berbasis ITI
e.
Adanya pengakuan dari lembaga pendidikan di luar
negri yang setara.
Syukron Atas Kunjungan
Anda..
Mohon Luangkan waktu
ANDA sebentar untuk MengKlik Web diBawah ini.
karena Kami sangat membutuhkan bantuan ANDA..
karena Kami sangat membutuhkan bantuan ANDA..
Posting Komentar
Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..