Rasulullah pernah bersabda,
“Ada tiga hal yang membahagiakan,
tiga hal yang merusak, tiga hal yang mengangkat derajat dan tiga hal yang
menjadi pelebur dosa.
Tiga hal yang yang membahagiakan
adalah takut kepada Allah baik dalam keadaan sendiri atau di depan banyak
orang, sederhana dalam kehidupan dan kemampuan menyeimbangkan antara kerelaan
dan amarah.
Adapun tiga hal yang merusak adalah
sifat kikir yang berlebihan, mengikuti hawa nafsu, dan bangga pada dirinya
sendiri.
Tiga hal yang mengangkat derajat
orang yang melakukan adalah mengawali mengucap salam kepada sesama, membagi
makan pada tamu dan orang yang lapar dan menjalankan shalat malam sementara
orang lain sedang tidur.
Tiga amalan yang mampu melebur dosa
adalah menyempurnakan wudlu hingga melebihi batas anggota yang harus dibasuh,
melangkahkan kaki untuk menjalankan shalat berjamaah dan menunggu masuknya
waktu shalat di masjid.”
Hadits Rasulullah yang begitu
panjang di atas menunjukkan bahwa betapa pendekatan kepada Pencipta tidaklah
hanya diwujudkan dengan ibadah murni saja seperti yang termaktub dalam rukun
Islam. Karena itulah sebenarnya sejak dimunculkannya pemilahan pemahaman
saleh, menjadi saleh ritual dan saleh sosial, penulis tidak
menyepakatinya. Bagi penulis kesalehan hanya bisa dimiliki oleh orang
yang tidak saja sempurna secara ritual tetapi juga baik dari sisi sosial
kemasyarakatan. Hadits ini sebagai bukti argumentasi saya. Rasulullah
mengaitkan setiap hal yang membahagiakan, merusak, mengangkat derajat dan
pelebur dosa dengan perilaku kesalehan sosial. Sederhana dalam kehidupan
merupakan cermin dari usaha menghindari kehidupan berlebihan yang seringkali
menciptakan kecemburuan sosial masyarakat sekitar. Coba perhatikan juga, hal
yang termasuk merusak amal seseorang malah didominasi oleh perkara-perkara yang
tidak mungkin menghindari interaksi sosial. Kekikiran, mengikuti hawa nafsu dan
kebanggaan terhadap diri sendiri ketiganya sangat terkait erat dengan
masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan orang lain.
Dalam surat al Hajj ayat 23, Allah
berfirman:
"Sesungguhnya Allah memasukkan
orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan
gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera."
Coba perhatikan bagian dari potongan
ayat ini
"orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh"
Penggunaan kata "dan" yang
dalam bahasa arab diwujudkan dalam wawu athaf (وَ) memberikan
makna li mutlaq al jam’iy yaitu keharusan berkumpul antara kata sebelum
‘dan’ (wawu) dan sesudah ‘dan’. Artinya seseorang tidak mungkin disebut
beriman bila tidak beramal saleh begitu juga tidak mungkin seseorang beramal
saleh tanpa keimanan. Amal disebut saleh bila didasari oleh pondasi keimanan.
Menghindarkan pembelokan makna
seperti ini sungguh penting. Karena bila pemilahan istilah saleh dengan saleh
ritual dan saleh sosial tetap saja berlangsung, bisa jadi ayat 23 dari surat al
Hajj diatas juga melegitimasi bahwa seorang non muslim juga bisa masuk surga
bila berlaku saleh sosial (?) berperilaku baik dan care terhadap
masyarakat sekitar. Begitu juga seorang muslim bisa masuk surga bila beriman
meski tanpa harus beramal saleh.
Kalau pemahaman seperti ini benar,
mengapa Allah berfirman sebagai berikut?
"Sesungguhnya telah ada
pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang
mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah."
(QS. Al Ahzab: 21)
(QS. Al Ahzab: 21)
Bahasa suri teladan erat kaitannya
dengan bahasa perilaku, bukan untuk pekerjaan hati. Artinya ayat ini
memperjelas kita bahwa pendekatan kepada Allah tidak dapat diringkas hanya
dengan bahasa hati (percaya!). Bukti sebuah kepercayaan harus diwujudkan dalam
bentuk tindakan (action!).
Rasulullah dalam sebuah kesempatan
menyampaikan:
"waLlahi la yu’min (3x) man
baata syabi’an wa jaaruhu jaai’an."
Demi Allah tidaklah beriman (3x)
orang yang semalaman dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.
Membaca hadits ini, tentu kita
semakin mantap bahwa pemilahan makna saleh dengan saleh ritual dan saleh sosial
bukan tindakan yang tepat. Orang yang perilakunya baik di masyarakat tidak bisa
dikatakan saleh meski baik secara sosial, karena dia tidak memiliki dasar
landasan keimanan yang kuat, begitu juga orang yang memenuhi kehidupannya
dengan ibadah murni tetapi tidak memiliki empati apapun kepada orang-orang
sekitarnya, juga belum dapat disebut saleh.
Mengakhiri artikel ini, ada baiknya
pula pembaca mencermati ayat ini:
Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan mengatakan, "Kami telah beriman". Sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
(QS. Al Ankabut: 2-3)
(QS. Al Ankabut: 2-3)
Posting Komentar
Komentar Kritik dan Saran yang Membangun sangat Berarti bagi Kami.
Terimakasih sudah mampir di Blog yang Sederhana ini :D
Mohon untuk LIKE Pane Fage Pondok Yatim Daarussalam di Pojok Kanan Atas. Terimakasi..